EKSPEDISI
TAK TERDUGA
Oleh : Yuda
Fajar
mulai terbit di ufuk timur. Aku bangun dengan kondisi yang bugar. Perlahan aku
bangun dari baring dan duduk ditepi kasur. Aku memandangi kalender yang
tertempel pada dinding didepanku. Seketika aku tersentak.
“Yeay! Hari ini ekspedisi!” sorakku dan
langsung menuju kamar mandi.
Hari
ini aku dan beberapa teman sekelasku akan melakukan ekspedisi ke Taman Nasional
Kayang Mentarang yang terletak tidak terlalu jauh dari kota kami. Kami akan
menyisir seluruh wilayah taman nasional itu dan mempelajari lebih banyak
tentang bunga bangkai dan spesies langka yang berada disana.
Selang
beberapa jam, aku sudah siap dengan baju dan tas yang sudah tersandang dipunggung.
Aku pamitan kepada orangtuaku dan menaiki motor menuju lokasi berkumpul. Kami
berjanji akan berkumpul dipintu masuk taman.
Sesampainya
disana aku mendapati teman-temanku dan juga Bu Yulia sudah menunggu didepan
taman.
“Eh, si Yuda lama bener. Cepetan yud gak
sabar nih!” seru Dini. Aku hanya membalasnya dengan cengengesan dan mengikuti
mereka yang berjalan masuk kedalam taman.
“Bu kita mau
kemana dulu?” tanya Janes yang berjalan disebelahku.
“Kita mau lihat
bunga Rafflessia Arnoldii,” ucap Bu
Yulia sambil mellihat kebelakang sekilas.
“Oh, masih lama ya Bu?” celutuk Janes.
“ Gak bentar
lagi sampai.”
Tidak
lama setelah itu, kami mencium bau busuk yang sangat menyegat. Kata Bu Yulia,
kalau kami mencium bau bangkai itu wajar karena bunganya memang sangat bau.
Dari jarak beberapa meter, aku dapat melihat sebuah bunga berwarna merah dengan
ukuran besar dan bintik-bintik kuning.
“Bu itu ya
bunganya?” tanyaku sambil menununjuk bunga yang kulihat tadi.
“Iya,” ucap Bu Yulia.
Setelah
itu kami berhamburan menghampiri bunga itu. Dan benar, bunga itu sangat bau
sehingga kami harus menutup hidung.
Aku
permisi sebentar untuk kencing. Aku mencari-cari tempat yang tidak bisa dilihat
orang. Langkahku terhenti didekat sebuah pondok yang didepannya terdapat sebuah
pohon besar.
Aku
kencing dulu dipohon itu. Setelah selesai, aku melihat pondok yang berada
didepanku. Karena penasaran, aku memasuki pondok itu.
Saat
aku masuk, aku mendapati kalau pondok itu sudah sangat tua dan juga berdebu.
Aku berjalan menuju sebuah meja yang terdapat disudut ruangan. Pandanganku
teralih ketika melihat kilauan cahaya didekat lemari disebelah meja. Aku pun menghampiri
lemari itu. Lemari itu sangat usang namun masih ada beberapa buku disana. Sampul
buku itu berwarna emas sehingga jika terkena cahaya akan menyilaukan.
Aku
pun membuka buku itu perlahan dan tiba-tiba lingkungan disekitarku berputar.
Aku
sekarang berada didepan meja yang sedang diduduki oleh seorang laki-laki
berkulit putih mirip orang Eropa.
“Arnold, kamu lakukan
ekspedisi bersama orang-orang Indonesia ini. Tugasmu mencari hewan langka disekitaran
hutan. Mengerti?” tanya laki-laki itu entah pada siapa.
“Siap, Tuan
raffles!” seru seseorang yang baru kusadari berada disebelahku.
Apa
dia bilang tadi? Raffless? Setahuku Raffles adalah nama seseorang berkebangsaan
Inggris yang memimpin di Indonesia pada masa pendudukan Inggris. Berarti Arnold
yang dimaksud adalah yang menemukan bunga Rafflesia
Arnoldii. Aku agak sulit mencerna semua ini.
“Baiklah, kalau
begitu kalian ikut aku,” kata laki-laki disebelahku yang bernama Arnold sambil
memandangku sekilas dan beberapa orang dibelakangku. Aku hanya mengikuti perintahnya
dan berjalan mengikuti Arnold.
Sesaat
setelah itu, kami memasuki area hutan yang sangat rimbun dan pohon-pohonnya
yang tinggi. Daun-daun yang berguguran dibawah agak basah yang menandakan kalau
baru saja turun hujan.
“Indonesia
benar-benar kaya. Lihat saja pohon-pohon ini” katanya menunjuk sebuah pohon dan
kemudian berbicara lagi, ” jika dijual ke Eropa pasti mahal sekali” ucap Arnold
dan kemudian Ia mendongak melihat ketinggian pohon-pohon di sekitar dan menghirup
oksigen sebanyaknya lalu kemudian menghembuskannya.
Aku
terus saja mengikuti Arnold entah kemana. Indra penciumanku mencium bau sesuatu
yang busuk seperi bau bunga bangkai yang aku cium tadi.
Sejenak
aku terpikir. “Mungkinkah aku kembali ke zaman dahulu? Kalau iya bagaimana aku
bisa kembali?” Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku pusing, sebaiknya aku
pikirkan itu nanti.
“Apa kalian
mencium bau bangkai?” tanya Arnold padaku dan beberapa orang pribumi yang
berjalan dibelakangku. Kami semua mengangguk tanda juga mencium bau bangkai
itu. Kemudian kami terus berjalan dan bau itu semakin menyengat. Arnold
tiba-tiba berhenti.
“Bau apa ini?
Coba kalian berpencar dan mengeceknya. Bisa saja itu bangkai manusia,” perintah
Arnold. Aku dan rombongan orang pribumi tadi pun mengangguk dan segera
berpencar mencari asal bau bangkai itu.
Aku
berjalan bersama seorang pribumi yang hanya setinggi daguku dan berkulit hitam
dengan baju yang tampak tidak layak.
“Heh, orang eropa itu bisanya hanya
menyuruh,” keluh orang pribumi disampingku. Aku hanya mengangguk sopan tanpa
mempedulikan keluhannya.
Kami
terus berjalan menyusuri hutan. Bau bangkai itu makin menyengat. Aku dan orang
pribumi itu mengikuti arah bau itu. Kami pun berhenti didekat semak belukar.
“Baunya dari
dalam sana,” ucap orang pribumi itu sambil menunjuk kearah semak belukar itu.
Aku mengangguk setuju karena baunya memang dari sana.
Orang
pribumi tadi dan aku kemudian berbalik kembali ketempat semula untuk
memberitahukan Arnold.
“Tuan, baunya
dari arah sana,” ucap orang pribumi yang bersamaku tadi.
Kemudian
Arnold, aku dan juga beberapa orang pribumi lain yang sudah kembali berjalan
mengikuti orang pribumi yang bersamaku tadi.
Kamipun
sampai ditempat yang aku dan orang pribumi itu temukan.
“Potong semak
belukarnya!” perintah Arnold yang kemudian dituruti oleh beberapa orang pribumi
yang membawa parang. Setelah semak belukarnya dibersihkan aku dapat dengan jelas
melihat bunga bangkai yang kulihat di taman nasional tadi. Tanpa sengaja aku
menyuarakan pendapatku tentang bunga itu.
“Benar ini bunga
bangkai! Baunya seperti bangkai!” ucap salah satu orang pribumi.
“Aihh, bunganya sangat bau,” ucap Arnold
sambil menutup hidungnya. Aku pun juga menutup hidungku. Namun beda dengan
orang pribumi yang tidak menutup hidung sama sekali. Mungkin mereka sudah terbiasa
dengan bau bangkai seperti ini terutama bangkai manusia yang mati akibat
peperangan.
Arnold
lalu merogoh sakunya dan mengambil sebuah sapu tangan. Ia melipatnya dan
menutup hidungnya dengan sapu tangan itu.
“Sepertinya
tanaman ini tanaman baru, kita harus memberikannya nama,” jeda sebentar kemudian Arnold melanjutkan, “ Rafflesia Arnoldii.”
Aku
terkejut mendengarnya dan kemudian sekelilingku kembali berputar. Ketika
keadaan sekitarku berhenti berputar, aku
kembali berada didalam rumah pondok tadi. Aku melihat buku yang kupegang dan kemudian menutupnya. Aku dapat melihat
judul buku itu pada sampulnya. Buku itu berjudul ‘Penemuan Bunga Rafflesia Arnoldii’. Tanpa pikir panjang
lagi aku mengembalikan buku itu ke lemari dan keluar dari pondok itu. Aku
kembali menuju tempat teman-temanku tadi.
“Loe kemana aja?” tanya Janes yang
melihatku datang.
“Oh tadi cari tempat kencing,” kilahku.
Kemudian
aku mengikuti rombonganku yang berjalan ke tempat lain. Aku kembali terpikir
soal kejadian tadi. Sepertinya aku sudah melewati perjalanan waktu menuju saat
bunga Rafflesia Arnoldii ditemukan.
Pengalaman yang sangat menarik.
∞∞∞∞∞∞
Komentar
Posting Komentar